Bos Ini Punya Rp. 10 Trilliun Namun Hidup Lebih Sederhana Dari Buruh

Salah Satu Orang Terkaya di Jepang, Shoji Uehara Sang Raja Farmasi Jepang, Ternyata Memilih Hidup Sederhana, Bahkan Lebih Sederhana Dari Buruh.

Meski kaya raya, Shoji Uehara justru menghindari hingar bingar. Pemegang kepimpinan tertinggi dari Taisho Pharmaceutical, perusahaan farmasi terbesar di Jepang, ini menampilkan diri layaknya eksekutif pada umumnya. Ia tinggal di rumah yang sederhana, berangkat kerja jalan kaki, dan makan siang dengan biskuit dan teh di mejanya. Akan tetapi majalah Forbes memperkirakan kekayaannya hampir sebesar 1 miliar dolar Amerika atau 10 Trilliun Rupiah.




Hidup sederhana
Di dalam perusahaan, ia dikenal sebagai GHQ atau “Goes Home Quickly” karena sepulang kerja, ia selalu langsung pulang ke rumah, bukannya minum-minum sebagaimana mayoritas eksekutif Jepang setelah bekerja. Dia tidak minum atau merokok, sebagian karena masalah kesehatan. Sedangkan kesamaan antara Uehara dengan pekerja kantoran pada umumnya adalah, ia selalu menyerahkan amplop gajinya kepada sang istri setiap bulan. Ia hanya akan menghabiskan sekitar $70 per bulan dan $70 tambahan untuk membeli buku. Total pengeluaran tidak sampai 2 juta rupiah per bulan ini tentunya bahkan lebih murah dari tuntutan hidup buruh Indonesia.

Gaya hidup sederhana Uehara mencerminkan kehidupan pedagang-pedagang di era samurai abad ke-17. Kala itu, pedagang menempati peringkat terbawah di tangga sosial Konfusius. Mereka menampilkan kekayaan mereka dengan cara yang hampir tidak kentara, seperti melapisi bagian dalam mantel mereka dengan bordir flamboyan.

“Saya tidak punya keterikatan dengan uang,” kata Uehara. Ia sadar tentang bagaimana dia mendapatkan uang. “Karena saya merasa tidak mendapatkannya dengan kemampuan saya sendiri.”
Memang, perusahaannya saat ini adalah hasil kerja dari sang bapak angkat, Shokichi Uehara. Pada masa perang, di tahun 1920-an, Shokichi Uehara memulai Taisho Pharmaceutical yang bergerak di pasar obat nonresep Jepang. Sang bapak memiliki filosofi bahwa “Bisnis adalah perang”. Memang, Uehara senior adalah seorang pengusaha yang berani dan keras. Sedangkan Shoji kebalikannya. Ia adalah orang yang sangat berhati-hati. Maka, bayangan panjang bapaknya dan kegemaran Shoji untuk meremehkan dirinya sendiri membuat Shoji Uehara seolah malprestasi. Padahal tidak. “Pemimpin generasi kedua cenderung menderita karena sulitnya mengikuti bayangan generasi pertama. Tapi Shoji Uehara mampu mempertahankan pertumbuhan,” kata Juichi Matsui, editor surat kabar Pharmaceutical Daily.

Fokus untuk mendidik generasi berikutnya
Karena kebijakan pajak Jepang, Shoji tidak bisa serta merta mewariskan kekayaan ke anak atau cucunya. Hal terbaik yang bisa ia lakukan, katanya, adalah memberikan pendidikan yang baik bagi ahli warisnya. Setelah itu, mereka tidak memiliki pilihan kecuali mengumpulkan uang sendiri. Maka, begitu lengser, Shoji Uehara mengalihkan operasi sehari-hari mereka ke anak angkat, sekaligus menantunya, Akira Uehara. Akira saat ini tengah menggenjot rencana perusahaan untuk fokus di pasar masyarakat Jepang yang semakin menua, sekaligus melebarkan sayap mereka ke area-area Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Maka kelak, di AFTA, Anda akan bersaing langsung dengan dinasti Uehara.

Terjun di filantropi
Setelah lengser dari tampuk kepemimpinan, Shoji Uehara mencatatkan diri sebagai salah seorang dermawan Jepang. Forbes mencatat namanya bersama dengan pahlawan filantropi seperti James Riady, dan Putera Sampoerna. Sejak masih aktif bekerja, Shoji Uehara memang terkenal dermawan. Ia kerap membawa cadangan uang 1,000 dolar Amerika di dompetnya, hanya untuk jaga-jaga jika sewaktu-waktu ia harus beramal. “Karena masyarakat menganggap bahwa Uehara adalah orang kaya,” katanya, “Maka saya harus memberikan sesuatu”. (Sumber:www.studentpreneur.co)
Previous
Next Post »
Thanks for your comment